Pendidikan Indonesia

Mengulas tentang pendidikan di Indonesia seolah tidak mengenal akhir karena ada 2 faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, faktor pertama adalah pesimisnya masyarakat atas kebijakan pemerintah dan faktor kedua adalah terlalu bersemangatnya pemerintah untuk mengikuti cepatnya perkembangan pendidikan di belahan lain dunia ini. Kemungkinan hal ini terjadi karena pemerintah kita iri dengan gemerlapnya sistem pendidikan di negeri-negeri lain.

Semestinya kita bisa belajar banyak dari sejarah, dulu negeri ini dikenal produsen guru terbaik hingga pihak negeri tetangga kita merasa perlu mengimpor tenaga pendidik dari negara kita, tetapi semua seolah tak lebih dari kenangan. Hasil survei, tahun 2005, menyebutkan Indonesia menduduki ranking 112. Jauh berada di bawah Malaysia dan Bangladesh, hal itu menunjukkan kenyataan yang membuat kita mengelus dada. Kondisi Human Development Index erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang ada.

Masalah pendidikan di Indonesia selama ini berkutat pada persoalan dana, pengadaan infrastruktur, dan kurikulum bongkar pasang yang tidak jelas ke mana arahnya. Pengadaan ketiga hal itu seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi jika memang membutuhkan masukan dari pihak lain, misalnya pengusaha, pakar pendidikan, atau perwakilan masyarakat, hal itu sangat dimungkinkan.

Hal lain yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah kondisi generasi muda sekarang. Survei dari lembaga survei di Jakarta yakni AC Nielsen Media menunjukkan bahwa 21 persen dan 34 persen masing masing untuk Fashion Forward dan Constant Hedonist. Keduanya mewakili generasi yang cuek dan asal ikut alur yang ada, lebih parahnya lagi alur pendidikan yang diikuti justru kehilangan arah. Mekanisme trial and error, bongkar pasang kurikulum, dan proses pendidikan yang gagal, adalah serangkaian lontaran yang muncul dari anggota masyarakat dikarenakan adanya pesimisme dan kebingungan.

Dua hal yang menjadi kunci dalam penanganan masalah ini adalah konsistensi, dan komitmen. Dalam hal ini konsistensi diperlukan dalam hal penerapan kurikulum beserta kebijakan terkait lainnya. Dibutuhkan interaksi antara pembuat kebijakan dengan penyelenggara industri dan pihak pemakai produk pendidikan dalam penyusunan kurikulum. Sedangkan komitmen dibutuhkan oleh semua pihak, semua turut bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di negeri ini.

Generasi muda tidak boleh terus-menerus memposisikan diri sebagai korban, saatnya semua pihak bergerak di tempat dan bidangnya masing-masing. Kita tidak perlu merasa malu atau kalah dengan Malaysia yang dengan gagah berani memotong 40 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kemajuan pendidikan. Itikad baik pemerintah, dan semoga berlanjut dengan komitmen, untuk mewujudkan 20 persen APBN menjadi hak sektor pendidikan harus disambut baik minimal dapat menjadi penyemangat bagi semua pihak.

Prestasi yang dicapai siswa Indonesia yang menang dalam olimpiade pendidikan belum mencerminkan beresnya system pengajaran di negeri kita ini. Karena mereka hanyalah segelintir dari jutaan siswa yang kualitasnya masih memprihatinkan. Kenyataan ini antara lain terindikasi dari standar nilai kelulusan.

Dari tiga mata pelajaran yang diujikan, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, nilai kelulusan yang ditetapkan minimal 4,25, sedangkan Malaysia memakai standar nilai kelulusan 6 dan Singapura 8. Maka, dalam rangka mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita, pemerintah terus berupaya meningkatkan standar kelulusan 0,5 poin setiap tahun. Dengan demikian, pada 2009/2010 diharapkan kualitas pendidikan kita paling tidak menyamai Malaysia.

Dalam peraturan nomor 22 dan 23 tahun 2006 oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dituliskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memperhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan masing-masing siswa. Secara gampangnya untuk memacu kualitas pendidikan, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi, untuk itu kita perlu mempersiapkannya secara cermat agar hal itu tidak menjadi sekadar wacana dan dalam hal ini pemerintah perlu menyiapkan petunjuk teknis tentang batasan secara umum pendidikan berbasis kompetensi.

Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu faktor kurikulum dan faktor siswa. Faktor kurikulum yang dipersiapkan guru reguler diharapkan memiliki cakupan lebih luas karena bertujuan tidak hanya mengejar target kelulusan, tapi lebih dari itu, yakni membentuk kepribadian siswa menurut jenjang pendidikannya. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi persoalan bangsa.

Guru yang berkompeten dan kurikulum yang bagus belum tentu akan menghasilkan siswa yang berkualitas, karena hal itu juga dipengaruhi oleh kesiapan murid menerima pelajaran yang merupakan faktor siswa yang harus mendapat perhatian khusus. Kesiapan siswa untuk mampu belajar tidak hanya ditentukan oleh faktor mental tetapi juga kesiapan fisik yang terbentuk sejak dilahirkan.

Kemampuan maksimum prestasi anak antara lain terkait dengan faktor gizi. Hasil penelitian Sigueira (1982) menyebutkan bahwa kapasitas otak anak sewaktu dilahirkan adalah 25 persen. Kemudian meningkat menjadi 50 persen pada usia 15 hari dan menjadi 75 persen pada usia 4 tahun. Kunci dari proses pengembangan ini terletak pada sel saraf enchepalon, yang tidak hanya berfungsi mengontrol inteligensi, tapi juga emosi dan koordinasi fisik. Proses perkembangan pada area ini berkaitan dengan pemenuhan gizi secara baik.

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi sosial 2002 diperoleh catatan sekitar 25,8 persen balita menderita kekurangan gizi. Angka itu sedikit meningkat menjadi 27,6 persen pada 2003. Kemiskinan adalah penyebab utama balita menderita kekurangan gizi.

Maka, untuk menyongsong visi pendidikan yang berkualitas kita perlu mencari solusi dari persoalan yang dihadapi. Ketersediaan guru dengan kompetensi yang mumpuni, kurikulum yang andal, dan kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran merupakan aspek yang perlu segera dituntaskan. Solusi terhadap guru yang berbasis kompetensi tidak terlepas dari peningkatan mutu guru, antara lain melalui pembidangan keilmuan dan peningkatan jenjang pendidikan. Sedangkan solusi terhadap peningkatan kesiapan siswa dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur sekolah dan jalur rumah tangga. Melalui jalur sekolah untuk peningkatan disiplin belajar, sedangkan melalui jalur rumah tangga untuk peningkatan asupan gizi dan waktu belajar.

Semoga pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, dan unggul agar tidak terbawa arus globalisasi dapat segera tercapai.

Sumber: http://www.matabumi.com/protest/pendidikan-indonesia
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul "Pendidikan Indonesia"
Share this history on :

0 komentar:

Posting Komentar